Loneliness Parenting dalam Film “Bila Esok Ibu Tiada”: Analisis Dinamika Keluarga Menurut Perspektif Teori Attachment
Film “Bila Esok Ibu Tiada” adalah film yang akhir-akhir ini sedang booming di kalangan para remaja dan orang dewasa. Film ini mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga yang pada awalnya penuh kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tiba-tiba hilang ketika sang Ayah (Haryo) wafat. Peristiwa itu memberikan dampak yang besar pada hidup sang Ibu (Rahmi) dan keempat anaknya.
Sang Ibu yang perlu belajar untuk menjadi sosok kepala keluarga dan mempertahankan keharmonisan keluarganya tanpa kehadiran orang yang ia cintai. Ranika, si sulung yang kini menjadi tulang punggung keluarga dan memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga adik-adiknya. Namun karena Ranika berperan dominan, menyebabkan hubungan dengan antar saudaranya merenggang.
Seiring berjalannya waktu, kondisi fisik sang Ibu memburuk, membuatnya sering sakit-sakitan. Rahmi hanya berharap keluarga kecilnya tetap hidup rukun meskipun suatu saat ia telah tiada. Namun, takdir berkata lain, hubungan di antara ketiga anaknya justru semakin kacau dan menghadapi berbagai konflik.
Film ini menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membentuk identitas, hubungan sosial, dan kesejahteraan psikologis anak. Dalam hal ini, film tersebut dapat dikaitkan dengan teori-teori psikologi untuk memperdalam pemahaman mengenai hubungan antara konsep loneliness parenting dengan kesejahteraan keluarga.
Salah satu teori psikologi yang digunakan untuk menganalisis karakter dalam film ini adalah Attachment Theory yang dikembangkan oleh John Bowlby.
Apa sih Teori Attachment itu?
John Bowlby, seorang psikolog asal Inggris yang memperkenalkan teori attachment yang menjelaskan pentingnya hubungan emosional anak dengan pengasuhnya dalam mempengaruhi perilaku serta pola hubungan anak di masa dewasa. Ikatan dalam hubungan ini mulai terbentuk sejak masa awal kehidupan anak. Bowlby menyatakan bahwa anak memiliki dorongan untuk membentuk ikatan dengan pengasuhnya secara alamiah terutama dengan ibu sebagai tempat berlindung dan rasa aman.
Menurut John Bowlby, perilaku orang tua terdiri dari perilaku maladaptif dan perilaku adaptif. Orang tua atau pengasuh yang tidak memberikan kebutuhan emosional dan ketersediaan fisik dengan sang anak disebut perilaku maladaptif. Sebaliknya, perilaku adaptif ditunjukkan oleh orang tua atau pengasuh yang memberikan dukungan emosional serta responsif terhadap kebutuhan dan perilaku anak.
Hubungan emosional antara anak dan pengasuh dipandang sebagai pondasi utama bagi perkembangan psikologis anak. Kehilangan salah satu peran orang tua dapat menciptakan gangguan dalam sistem keterikatan, yang dapat memicu rasa ketidakamanan, kecemasan, dan kesedihan yang mendalam. Anak yang kehilangan figur pengasuh utamanya sering kali merasa “terputus” dari dukungan emosional, sehingga menghadapi kesulitan dalam membangun hubungan baru yang stabil di kemudian hari
Attachment Style menurut John Bowlby:
- Secure Attachment (pola kelekatan aman), merupakan pola yang terbentuk melalui adanya interaksi positif antara orang tua dan anak. Pada pola ini anak merasa percaya, nyaman, dan aman terhadap orang tua sebagai sosok yang memberikan kasih sayang, responsif, serta memberikan kenyamanan saat anak merasa butuh perlindungan dan pertolongan.
- Anxious Resistant Attachment (pola kelekatan cemas), yaitu pola ketika anak merasa tidak mempercayai atau tidak yakin bahwa orang tuanya akan membantunya dan selalu ada ketika anak membutuhkannya. Sehingga, anak cenderung mengalami rasa cemas untuk berpisah, terlalu bergantung, dan menuntut perhatian.
- Anxious Avoidant Attachment (pola kelekatan menghindar) adalah pola antara orang tua dan anak, dengan kondisi sang anak tidak memiliki kepercayaan diri. Hal ini disebabkan karena ketika di masa kecil, sang anak tidak mendapatkan kasih sayang ketika masa pencarian tersebut. Pada pola ini, orang tua cenderung menolak atau menghindar ketika anak mencari tempat nyaman dan perlindungan.
Dari film “Bila Esok Ibu Tiada” dapat disimpulkan bahwa Rahmi berupaya menyatukan anak-anaknya untuk hidup rukun sebelum ia meninggal. Upaya ini mencerminkan pentingnya hubungan emosional yang aman (secure attachment), sebagaimana ditekankan dalam teori Bowlby. Namun, kegagalan Rahmi dalam memperbaiki pola komunikasi keluarga akibat kesehatannya yang memburuk mencerminkan dampak loneliness parenting. Hal ini menimbulkan dampak buruk terhadap perkembangan anak yang diasuhnya.
Anak sulung menjadi otoriter dalam keluarga, sikap kerasnya terhadap saudara-saudaranya menciptakan jarak emosional antara mereka. Anak kedua menunjukkan pola anxious resistant attachment. Ia bergantung secara emosional, tidak mandiri, dan menjadi pengangguran. Anak ketiga memiliki konflik dengan anak sulung yang tidak terselesaikan karena kurangnya komunikasi dan koordinasi keluarga. Sementara itu, anak bungsu menunjukkan pola anxious avoidant attachment karena merasa tidak cukup mendapat dukungan dari keluarganya sehingga mencari kenyamanan emosional di luar keluarga.
Film ini memberikan pelajaran bahwa hubungan emosional dalam keluarga tidak hanya mempengaruhi hubungan di masa kini, tetapi juga membentuk pola perilaku di masa depan. Kehilangan peran atau figur pengasuh juga bisa menyebabkan berbagai konflik kekeluargaan dan pola hubungan keluarga yang kurang harmonis. Loneliness parenting yang dialami Rahmi menjadi penghalang utama bagi terciptanya hubungan emosional yang sehat, sebagaimana digambarkan dalam teori Bowlby. Dengan menunjukkan bagaimana konflik keluarga dapat timbul dari pola asuh yang tidak optimal, film ini mengajak untuk membangun secure attachment demi kesejahteraan emosional keluarga