Bercermin dari Drama Korea ‘Itaewon Class’ Memahami Bagaimana Self-Efficacy, Optimisme, dan Harapan Berkontribusi dalam Membantu Individu Menghadapi Kesulitan

“Never give up. You can achieve anything if you put your mind to it. The effort you put in is up to you and no one can take this effort away from you” – Itaewon Class.

Hampir segenap penggemar drakor (drama Korea) tentu sudah tidak asing lagi dengan‘Itaewon Class’, sebuah drama Korea yang merupakan hasil adaptasi dari WebToon dengan judul serupa. Drama ini pertama kali dirilis pada 31 Januari 2020, mengisahkan seorang pemuda gigih dan idealis bernama Park Sae-Ro-Yi, yang diperankan oleh Park Seo-Joon. Sejak masa remaja, Sae-Ro-Yi telah menunjukkan kemarahan terhadap ketidakadilan dan korupsi, yang membawanya terlibat dalam berbagai pertikaian.

Kisah ini bermula saat Sae-Ro-Yi menghajar Jang Geun-Won, anak dari CEO Jang Dae-Hee, yang merupakan pemilik restoran tempat ayahnya bekerja. Tindakan itu menyebabkan Sae-Ro-Yi dikeluarkan dari sekolah dan ayahnya dipecat. Kehidupan Sae-Ro-Yi semakin memilukan setelah kematian ayahnya yang disebabkan kecelakaan yang didalangi oleh Geun-Won. Dalam kondisi amarah yang membara, Sae-Ro-Yi membalas dendam dengan menyerang Geun-Won yang akhirnya mengakibatkan Sae-Ro-Yi harus mendekam di jeruji besi selama tiga tahun. Selepas kebebasannya, Sae-Ro-Yi bertekad untuk mendirikan restoran sendiri yang diberi nama Dan-Bam di Itaewon dan ingin menghancurkan perusahaan Jang-Ga.

Setiap individu, mungkin setidaknya satu kali dalam hidupnya pernah menghadapi kesulitan yang kemudian membuat individu tersebut merasa pupus harapan dan berujung mengganggu subjective well-being mereka. Kesulitan yang dihadapi pun sangat bervariasi, misalnya seperti tuntutan-tuntutan di lingkungan kerja, masalah dalam hubungan interpersonal, tekanan akademik atau malah masalah internal dalam keluarga.

Dalam situasi seperti ini, cukup penting bagi setiap individu untuk setidaknya mengetahui faktor psikologis apa saja yang dapat membantunya bangkit kembali sehingga siap untuk menghadapi berbagai macam permasalahan lika-liku kehidupan. Pengetahuan dan pemahaman psikologis dapat membantu individu untuk mengenali apa saja jenis emosi, apa saja kebutuhannya dan seperti apa motivasi yang dibutuhkan dirinya. Sehingga diharapkan nantinya individu dapat lebih bijak dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta individu diharapkan dapat menghindari penyebab pertikaian sehingga dapat memperkuat hubungan sosial yang dibangun sebelumnya. Kemudian, dalam hal ini tingkat resiliensi yang cukup  juga diperlukan, sebagai kemampuan individu untuk menjaga stabilitas mental ketika menghadapi berbagai peristiwa tidak menyenangkan, dan cara individu untuk mengatas, menghadapi, serta pulih dari trauma psikologis dengan cara yang sehat dan produktif. Individu dapat membangun resiliensi dengan bantuan dukungan sosial, lingkungan yang suportif, dan keterampilan mengelola stres. Selain itu, ada tiga aspek psikologis yang saling berkaitan sebagai alat untuk mengatasi kesulitan juga membantu individu untuk dapat berkembang dan mencapai potensi mereka, aspek tersebut meliputi self-efficacy, optimisme, dan harapan.

Self-efficacy (efikasi diri) merupakan cara individu untuk menilai sejauh mana dirinya mampu melakukan suatu tindakan atau menyelesaikan suatu tugas untuk menggapai sasaran tertentu (Omrod, 2019). Konsep mengenai self-efficacy ini pertama kali dipopulerkan oleh Albert Bandura, seorang ahli psikologi dengan menampilkan elemen utama dari teori kognitif sosial yang mana dapat memengaruhi perilaku, kognisi, dan motivasi individu. Bandura (1986) mengartikan self-efficacy sebagai penilaian (judgement) individu mengenai kapasitas dan kemampuannya yang diharapkan, diperkirakan atau dibutuhkan dalam mencapai suatu sasaran yang telah ditetapkan, yang selanjutnya dapat memengaruhi individu untuk memilih apa tindakan berikutnya yang harus dilakukan. Istilah self-efficacy juga merujuk pada kepercayaan diri untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya, sehingga individu dapat memanfaatkan potensi dirinya dengan maksimal dan dapat mengontrol lingkungan yang ada di sekitar mereka (Feist & Feist, 2010).

Individu yang memiliki tingkat self-efficacy tinggi, dapat dianalogikan seperti seorang pelaut yang tak gentar menghadapi gelombang yang menggila maupun badai yang bergemuruh riuh. Sebaliknya, Ia merasa begitu yakin bahwa kapal yang ia kemudikan, meskipun kecil, tetapi dapat berlayar melalui semua badai dan gelombang. Keyakinan itu tersimpan ragu di dalam hatinya dan percaya bahwa di tengah gelap ada cahaya yang bisa dijumpai. Sehingga pelaut tersebut terus bergerak maju tanpa ragu, memegang kemudi kapal dengan penuh keyakinan, berbekal rasa percaya jika ia mampu menemukan jalan meski langit kelam dan lautan tak terlihat ujungnya. Ia memahami bahwa setiap badai pasti akan berlalu, dan setiap arah angin dapat diarahkan kembali ke tujuan. Dalam diri pelaut tersebut dapat terlihat adanya tingkat  self-efficacy tinggi, yakni berupa keyakinan bahwa keterampilan, pengalaman, serta tekadnya yang seolah mengatakan bahwa Ia selalu mampu mengatasi apa pun yang menghadangnya di tengah samudera hidup. Hal ini sejalan dengan pandangan Bandura yang menyatakan bahwa self-efficacy memengaruhi perasaan, pemikiran, dan tindakan individu dalam berbagai situasi. Individu yang memiliki level atau tingkat self-efficacy tinggi biasanya lebih percaya diri dalam menghadapi persepsi rintangan dan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam persepsi tersebut.

Bandura (1997) dalam pendapatnya mengutarakan bahwa ada tiga komponen utama dari self-efficacy individu, di antaranya: 1) Magnitude, yaitu level of difficulty atau tingkat kesukaran suatu tugas yang harus diselesaikan, di mana mereka yang memiliki self-efficacy tinggi biasanya menganggap tugas sulit sebagai tantangan, memiliki komitmen tinggi untuk mengerjakannya dan cepat move-on dari kegagalan, sedangkan bagi mereka yang memiliki self-efficacy rendah akan lebih mudah menyerah, selalu menunda-nunda pekerjaan, tidak memiliki motivasi, dan memiliki semangat juang rendah;  2) Generality, menggambarkan seberapa banyak jumlah tugas yang harus diselesaikan, pada aspek ini, individu yang memiliki tingkat self-efficacy tinggi yakin bahwa dirinya akan mampu menangani masalah dan beban pekerjaan dengan merencanakan beban kerja atau secara aktif mengatasi masalah-masalah yang ada; 3) Strength, berkaitan dengan kepercayaan yang dimiliki individu terhadap capability atau kemampuannya.

Salah satu hal yang berperan penting dalam mengambil keputusan, menentukan seberapa besar upaya yang akan dikeluarkan, dan seberapa tenggang individu ketika dihadapkan pada kesulitan, adalah self-efficacy yang memainkan peran krusial di dalamnya. Dalam buku mereka, Feist J dan Gregory J. F. (2011) perlu dicatat bahwa ada faktor dapat memengaruhi perkembangan self-efficacy dalam diri individu. Beberapa faktor di antaranya: 1) Mastery experience (pengalaman menguasai sesuatu), di mana keberhasilan meningkatkan ekspetasi individu terhadap kemampuannya, sementara kegagalan cenderung menurunkan hal tersebut; 2) Social modelling (permodelan sosial), di mana self-efficacy cenderung meningkat setelah melihat orang lain yang memiliki potensi setara meraih keberhasilan, dan self-efficacy akan menurun jika melihat orang lain dengan potensi setara itu mengalami kegagalan; 3) Social persuasion (persuasi sosial), di mana individu yang menerima persuasi memiliki kepercayaan pada kata-kata dari pihak yang melakukan persuasi, terlebih lagi jika dikombinasikan dengan bukti performa atau kinerja yang sukses; 4) Physical and emotional states (kondisi fisik dan emosional), yang sebenarnya mengurangi efektivitas individu atas apa yang mereka kerjakan adalah karena adanya emosi yang tidak seharusnya atau tidak tepat, seperti perasaan takut yang mungkin berlebihan, cemas, atau level stres yang tinggi.

Lantas, apakah orang dengan self-efficacy tinggi sama dengan orang yang optimis?

Optimisme, atau kemampuan untuk pengharapan baik dalam segala hal (Shapiro, 2010). Ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan, individu yang optimis cenderung melihat masalah tersebut sebagai peluang untuk dirinya bisa belajar dan berkembang. Biasanya, individu yang optimis mampu mengevaluasi kemampuan dirinya, dan memanfaatkan potensi yang dimiliki secara maksimal dan optimal, serta dapat tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai. Bahkan ketika memiliki impian yang tampak mustahil untuk diraih, individu yang optimis akan terus berusaha, tanpa mengenal kata menyerah. Sekalipun menemui kegagalan, individu yang optimis akan tetap merasa puas dengan usaha yang telah dilakukannya, mereka seakan memiliki anggapan, “aku sudah melakukan yang terbaik sebisaku”. Hal ini jelas membuktikan bahwa optimisme dapat mendorong individu untuk lebih percaya bahwa setiap peristiwa yang dialaminya adalah bagian dari hal terbaik yang terjadi dalam hidupnya. Optimisme, adalah cara pandang menyeluruh yang fokus melihat sisi positif, berpikir konstruktif, dan memberikan makna yang membangun bagi diri sendiri (Seligman, 2006). Oleh karena individu yang optimis dapat selalu berpikiran positif atas hasil dari sesuatu yang mereka lakukan, dan gemar belajar dari kesalahan, mereka pun mampu menciptakan hasil yang lebih baik dari sebelumnya, tidak gentar ketika menghadapi kegagalan, dan selalu berusaha bangkit serta mencoba lagi ketika mengalami kegagalan.

Menurut Seligman (2006), optimisme terdiri atas 3 elemen inti, yaitu: 1) Permanence, yaitu individu yang optimis percaya bahwa peristiwa negatif yang dialaminya hanyalah bersifat sementara dan dapat diubah atau diperbaiki, sedangkan peristiwa positif yang terjadi dipandang sebagai sesuatu yang berlangsung lebih lama atau bersifat permanen dan layak untuk dipertahankan; 2) Pervasiveness, di mana individu yang optimis akan percaya bahwa kegagalan dapat dikarenakan oleh faktor penentu yang spesifik, sementara keberhasilan diyakini berasal dari faktor yang bersifat universal atau lebih luas dan menyeluruh; 3) Personalization, di mana individu yang optimis cenderung menganggap kesalahan berasal dari faktor eksternal, dan keberhasilan dikaitkan dengan usaha dan kemampuan pribadi atau berasal dari faktor internal. Carver & Scheier (2009) berpendapat bahwa individu yang optimis memiliki kepercayaan diri yang kuat dan cenderung lebih pandai untuk bertahan dalam menghadapi hambatan, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Pola pikir optimis berkembang dari cara seseorang menilai dirinya berharga atau tidak. Rasa berharga dan makna hidup biasanya muncul dari adanya pengakuan dan apresiasi dari lingkungan sekitar. Optimisme yang tinggi muncul dari kekuatan dalam diri individu yang digabungkan dengan dukungan dari orang-orang terdekat, sehingga individu merasa dihargai dan berarti.

Optimisme dan harapan memiliki hubungan yang erat dalam membentuk cara individu menghadapi permasalahan hidup. Jika optimisme berfokus pada keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan terjadi dan setiap kegagalan hanyalah sementara, maka harapan lebih menekankan pada motivasi untuk terus bergerak maju meskipun jalan yang ditempuh penuh dengan rintangan. Synder (2004) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan untuk merancang strategi dalam mencapai tujuan, meskipun dihadapkan pada rintangan, serta menggunakan motivasi sebagai faktor pendorong utama untuk mencapainya. Secara garis besar, harapan adalah kondisi mental positif yang mencerminkan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam usaha meraih tujuan di masa depan. Synder juga menyebutkan bahwa tujuan dari harapan dan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: 1) nilai dari hasil yang diinginkan, seberapa penting hasil tersebut bagi individu; 2) kepercayaan bahwa strategi yang dirancang sebelumnya dapat dipastikan membawa hasil sesuai keinginan; dan 3) persepsi individu terhadap kemampuannya untuk menjalani rencana tersebut hingga mencapai tujuan.

Harapan memainkan peran penting dalam mencapai tujuan karena dapat memberikan motivasi dan arah bagi individu. Ketika individu memiliki harapan yang kuat, ia cenderung lebih proaktif dalam mencari solusi dan mengatasi hambatan yang muncul. Harapan juga membantu individu untuk tetap fokus pada hasil positif dan mempertahankan sikap emosional yang baik, bahkan dalam situasi sulit. Individu dengan tingkat harapan tinggi biasanya memiliki karakteristik seperti, memiliki keyakinan bahwa hal-hal baik pasti akan terjadi, memiliki keinginan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri, dan memiliki energi yang lebih tinggi untuk menggapai tujuan. Sebaliknya, individu dengan harapan rendah cenderung merasa stuck dan tidak berdaya yang akhirnya mengakibatkan individu tersebut kurang berusaha untuk mencapai tujuan mereka.

Melalui drama Korea “Itaewon Class,” self-efficacy, optimisme dan harapan sangat jelas kasat mata dan sangat mencolok hadir sepanjang perjalanan kehidupan karakter utama, Park Sae-Ro-Yi. Drama ini tidak hanya menggambarkan perjuangan Sae-Ro-Yi untuk mendirikan restoran Dan-Bam sebagai bentuk balas dendam kepada sebuah perusahaan yang dulu pernah menghancurkan keluarganya, tetapi juga menggambarkan bagaimana ketiga aspek psikologis berupa self-efficacy, optimisme, dan harapan berperan penting dalam ketahanan dan keberhasilan individu meskipun harus menghadapi berbagai kesulitan dalam perjuangan hidupnya.

Dalam Itaewon Class, Sae-Ro-Yi digambarkan sebagai karakter utama dengan tingkat self-efficacy yang sangat tinggi. Dapat dilihat dari bagaimana ia ketika harus menyaksikan kematian tragis ayahnya dan bagaimana ia saat harus menghadapi berbagai macam ujian hidup, tetapi ia dapat terus bangkit dan mampu mempertahankan keyakinannya bahwa suatu saat ia akan mampu memulai bisnis dan mengalahkan musuhnya. Ketika Sae-Ro-Yi bertekad untuk membuka Dan-Bam, keyakinan tersebut menjadi motivasi utama dalam setiap tindakannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, individu dengan self-efficacy tinggi cenderung melihat permasalahan atau rintangan sebagai kesempatan untuk belajar dan mengambil pengalaman berharga. Ketekunan yang ditunjukkan oleh Sae-Ro-Yi sebagai karakter utama, mencerminkan pemikiran individu yang memiliki self-efficacy tinggi melalui sikapnya yang tak pernah menyerah meskipun ia berkali-kali mengalami kegagalan.

Selain itu, optimisme juga terlihat jelas dalam sikap Jo Yi-Seo dan rekan-rekan Sae-Ro-Yi yang senantiasa dan tak pernah letih mendukungnya. Mereka percaya bahwa meskipun dalam kondisi atau situasi sulit, tetap akan ada hasil yang baik jika mereka terus melakukan berbagai usaha dengan sungguh-sungguh. Dalam penjelasan di atas telah dijelaskan juga bahwa optimisme adalah pandangan positif terhadap masa depan dan keyakinan bahwa kesulitan bersifat sementara, yang mana berarti bahwa masa-masa sulit itu pasti akan berlalu.  Yi-Seo, sebagai karakter yang optimis memiliki pengaruh besar dalam menjaga semangat dan kekompakan tim Dan-Bam. Yi-Seo selalu berusaha meyakinkan Sae-Ro-Yi bahwa mereka bisa sukses jika mereka terus bekerja keras dan saling mendukung. Karakter-karakter lain dalam drama ini juga menunjukkan sikap optimis. Misalnya, ketika tim Dan-Bam mengalami banyak kegagalan dalam perjalanannya, mereka selalu mampu bangkit kembali dan mereka terus menerus mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman buruk itu sebagai bahan evaluasi. Hal ini dapat dilihat saat restoran mereka tidak mendapatkan pelanggan seperti yang diharapkan, alih-alih menyerah, mereka memilih belajar dari kesalahan dan menyusun strategi baru dalam berpromosi supaya restoran mereka dapat menarik lebih banyak pengunjung.

Keinginan Sae-Ro-Yi untuk membalas dendam dan tekadnya untuk mendirikan Dan-Bam berakar dari harapannya untuk dapat mengubah nasib hidupnya dan meraih kesuksesan meskipun harus memulai dari nol. Karakter-karakter lain, seperti Jo Yi-Seo dan Oh Soo-Ah juga menyimpan harapan yang serupa dalam perjuangan mereka. Yi-Seo selalu memberikan emotional support untuk Sae-Ro-Yi, bahkan ketika Sae-Ro-Yi merasa stres dan putus asa, Yi-Seo tak pernah lelah mengingatkannya mengenai seberapa besar potensi yang mereka miliki dan bahwa mereka hanya perlu terus bekerja keras. Kegigihan Sae-Ro-Yi dan teman-temannya dalam membesarkan restoran Dan-Bam terlahir dari harapan yang sama. Bahwa mereka memiliki harapan yang sangat kuat untuk mencapai tujuan mereka, sekalipun harus menghadapi banyak masalah di sepanjang jalan. Harapan-harapan inilah yang kemudian menjadi motivasi mereka untuk terus bergerak maju dan mencari jawaban atas masalah yang mereka temui.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketiga elemen ini bersama-sama membentuk siklus dengan feedback positif yang berfungsi untuk meningkatkan dan mengarahkan individu menuju pada pencapaian yang lebih baik. Self-efficacy yang merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri untuk mencapai tujuan berperan penting dalam membentuk pandangan optimis terhadap masa depan. Ketika individu memiliki tingkat self-efficacy tinggi, mereka relatif kompeten dalam memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan dan melihat rintangan sebagai peluang untuk belajar. Keyakinan semacam ini dapat memupuk optimisme, karena individu dapat merasa lebih mampu untuk mengatasi hambatan dan mendapatkan hasil yang diinginkan. Di sisi lain, harapan dapat menjadi ofensif karena berkaitan dengan self-efficacy dan tingkat optimisme yang memberikan penduan sekaligus motivasi kepada individu untuk terus melangkah meskipun bebannya terasa berat. Individu yang memiliki harapan tinggi, adalah mereka yang akan mengerahkan semua upaya untuk merancang rencana terbaik agar mencapai tujuan mereka, didorong oleh keyakinan pada kemampuan diri (self-efficacy) dan pandangan positif terhadap masa depan (optimisme).


Referensi:

Lianto. (2019). Self-Efficacy: A brief literature review. Jurnal Manajemen Motivasi. Vol. 15, 55-61.

Roza Khairani, L., Khuluq, M. L. H., Bernadtua, M., & Simanjuntak, C. A. (2022). Many People’s Interest in South Korean Drama Itaewon Class. Students’ Identity and Scientific Thought Enhancement, 113.

Wini, N., Marpaung, W., & Sarinah. (2020). Optimisme Ditinjau dari Penerimaan Diri Pada Remaja di Panti Asuhan. Proyeksi. 15(1), 12-21.

Wardani, I. A., & Sugiharto, D. Y. P. (2020). Hubungan adversity quotient dan dukungan sosial dengan optimisme akademik pada siswa SMP Negeri 1 Wanadadi. Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling4(2), 160-178.

Penulis: Dzahabiyyah Adyana Nugroho