Pengaruh Bias Kognitif terhadap Preferensi Pemilih dalam Pilkada: Perspektif Teori Psikologi Kognitif

Dalam ranah politik, khususnya dalam Pilkada, perilaku individu seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias kognitif yang menarik untuk dikaji. Bayangkan ketika kita memilih kepala daerah, pikiran kita tidak selalu bekerja seratus persen rasional,  ada banyak faktor psikologis yang secara diam-diam mempengaruhi keputusan kita. Pada saat pemilihan, terkadang kita berpikir tentang bagaimana setiap individu dapat memilih kandidat tersebut? Apa saja yang mempengaruhi setiap individu dalam keputusan yang diambilnya? Nah, pada Psyjian berikut, kita akan membahas dari perspektif teori Psikologi Kognitif. 

Psikologi Kognitif merupakan cabang ilmu psikologi yang mempelajari proses mental manusia, mencakup bagaimana cara individu berpikir, memahami, mengingat, dan berkomunikasi. Sternberg (2009) menjelaskan bahwa psikologi kognitif adalah studi tentang bagaimana orang belajar, mengingat, dan berpikir mengenai informasi. Dalam teori Psikologi Kognitif terdapat istilah yang disebut dengan “bias kognitif”. Bias Kognitif merupakan kesalahan yang bersifat sistematis dalam cara berpikir, menilai, atau mengingat informasi yang dapat mempengaruhi individu dalam mengambil suatu keputusan. Dalam ranah psikologi kognitif, bias ini sering kali dihasilkan dari proses mental yang tidak sempurna, sehingga individu cenderung mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan proses di mana masyarakat setempat secara langsung, terbuka, bebas, dan rahasia memilih pemimpin daerah, termasuk kepala daerah beserta wakilnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pilkada merupakan mekanisme krusial dalam sistem pemerintahan Indonesia yang memberikan hak politik kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Proses ini merupakan elemen penting dari upaya demokratisasi di Indonesia, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Pilkada diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011, yang mencakup asas-asas seperti independensi, kejujuran, keadilan, kepastian hukum, dan transparansi.

Dalam proses pemilihan, tindakan individu dapat dipengaruhi oleh sejumlah bias kognitif, bias-bias ini berperan penting dalam membentuk pola pikir dan keputusan yang diambil, termasuk dalam konteks pemilihan kepala daerah. Salah satu pola yang sering kita jumpai adalah kecenderungan untuk mengkonfirmasi kembali keyakinan yang sudah ada atau disebut dengan Confirmation Bias, yakni bagaimana cara mereka cenderung mencari dan mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka sebelumnya. Contohnya, jika kita sudah mendukung kandidat tertentu, kita cenderung hanya mau mendengar hal-hal baik tentang kandidat tersebut. Ibarat menggunakan kacamata kuda, kita seolah menutup mata terhadap informasi yang bertentangan dengan pilihan kita.

Cara kita menilai situasi politik juga sering dipengaruhi oleh contoh-contoh serupa yang mudah kita ingat (Availability Heuristic). Misalnya, apabila media terus-menerus meliput kasus korupsi, kita mungkin akan beranggapan bahwa semua pejabat daerah berpotensi korupsi. Meskipun ini belum tentu merepresentasikan kebenaran yang sebenarnya.

Ada juga fenomena yang disebut dengan Bandwagon Effect, atau yang sering kita kenal dengan istilah “ikut-ikutan”, yang merupakan situasi ketika orang cenderung mengikuti keputusan mayoritas dalam menentukan pilihan. Fenomena ini terlihat ketika orang mengubah pilihan politiknya hanya karena hasil survei menunjukkan seorang kandidat lebih unggul. Kondisi ini mirip dengan psikologi massa di mana orang cenderung mengikuti apa yang dilakukan mayoritas.

 

Para ahli psikologi kognitif, Tversky dan Kahneman, menjelaskan bahwa otak kita sering menggunakan “shortcuts” dalam membuat keputusan. Salah satu contohnya adalah Anchoring Bias, di mana penilaian kita sangat dipengaruhi oleh informasi yang pertama kali kita terima. Dalam konteks Pilkada, kesan pertama terhadap seorang kandidat dapat sangat membekas dan sulit diubah, bahkan ketika muncul fakta-fakta baru yang bertentangan.

 

Sementara itu, fenomena Groupthink menjadi perhatian khusus dalam konteks pemilihan, yakni tekanan untuk mencapai konsensus dalam kelompok dapat mengabaikan alternatif atau pendapat yang berbeda. Hal ini sering diperkuat oleh perpaduan bias kognitif individu seperti confirmation bias dan overconfidence bias, yang kemudian diperparah oleh dinamika kelompok. Dampak dari berbagai bias ini terlihat dalam bentuk stereotyping dan halo effect, di mana penilaian terhadap kandidat dipengaruhi oleh kategori sosial atau karakteristik tertentu yang menonjol. Peran emosi dalam pengambilan keputusan juga tidak bisa diabaikan, keputusan pemilih seringkali lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada pertimbangan rasional terhadap program dan kebijakan. Di dalam komunitas pendukung, groupthink dapat memperkuat bias ini dan menciptakan polarisasi pendapat yang lebih ekstrem. Tekanan kelompok dan keinginan untuk menjaga harmoni sosial dapat mengabaikan informasi penting yang bertentangan dengan preferensi kelompok.

Semua bias ini memiliki dampak yang cukup serius terhadap kualitas demokrasi di tingkat lokal. Alih-alih memilih berdasarkan program kerja atau kapabilitas kandidat, pemilih sering terjebak dalam penilaian yang dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional atau tekanan sosial. Memahami berbagai bias ini menjadi penting bagi semua pihak yang terlibat dalam Pilkada (mulai dari penyelenggara, tim kampanye, hingga pemilih sendiri) agar bisa menciptakan proses demokrasi yang lebih berkualitas dan menghasilkan keputusan yang lebih bijak.

Mengingat pengaruh besar dari bias-bias ini, sangat penting bagi kita untuk memahami dan merancang strategi mitigasi, dengan menyediakan edukasi tentang keberadaan bias kognitif serta cara-cara berpikir kritis yang menjadi kunci, serta memperluas sumber informasi dan pembangunan diskusi yang sehat antar kelompok berbeda juga diperlukan agar kita dapat mengurangi dampak bias kognitif ini. Di samping itu, para kandidat dapat menyampaikan informasi yang akurat dan relevan terkait program kerja dan rekam jejak mereka, sementara reinforcement institusi pengawas pemilu dan penyediaan informasi yang seimbang dapat mendukung terciptanya lingkungan pemilihan yang lebih kondusif untuk pengambilan keputusan yang rasional.

Bias kognitif memang memiliki peran penting dalam membentuk preferensi pemilihan dalam Pilkada. Kita harus lebih menyadari keterbatasan dan kecenderungan bawaan dalam cara berpikir serta mengambil keputusan, agar kita bisa lebih berhati-hati dalam memproses informasi dan membuat pilihan politik yang lebih bijak. Dengan memahami bias tersebut, kita dapat mengurangi dampak negatifnya. Dengan demikian, hal ini dapat meningkatkan kualitas proses demokrasi dan membantu individu dalam membuat keputusan yang lebih rasional dan berdasarkan informasi faktual. 




Referensi: 

 

Damanik, P. N. L., 2009330177. (2013). Lembaga Survei Sebagai Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus : Pengaruh Hasil Survei terhadap Pengambilan Keputusan di Partai Politik (By A. H. Pareira) [Thesis].

 

Isywara, A. P., Tasia, W. R. N., Ramadhan, F., & Prastiwi, A. (2024). Pengaruh Bias Kognitif terhadap Pengambilan Keputusan Investasi di Platform Digital pada Generasi Y dan Z. EL MUHASABA: Jurnal Akuntansi (e-Journal), 15(1), 51-65.

 

Sarbaini, S. (2020). Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratis Sebagai Bentuk Perwujudan Hak Asasi Politik Masyarakat di Indonesia. Legalitas Jurnal Hukum, 12(1), 107. https://doi.org/10.33087/legalitas.v12i1.197