Friendship Breakup: Menemukan Pelangi setelah Hujan, Perjalanan Menemukan Diri di Balik Kehilangan
Mengapa Persahabatan Bisa Berakhir?
Pernahkah kita merasakan bahwa sebagian dari diri kita ikut hilang ketika sahabat kita tiba-tiba menjauh dari hidup kita? Hampa pastinya, seperti ruang kosong dalam hati yang sulit untuk dipenuhi. Seakan-akan bagian terpenting dari kisah hidup kita telah dirobek begitu saja. Persahabatan tidak selalu berakhir akibat perselisihan hebat. Terkadang, ia menghilang perlahan, hingga suatu hari kita mulai menyadari tidak ada lagi tawa dan cerita bersama. Mengapa ini terjadi? Apa yang membuat persahabatan kita yang dulu erat bisa renggang dan berakhir? Artikel ini akan mengajak kita untuk memahami lebih dalam mengenai fenomena “Friendship Breakup” dan bagaimana bisa kita bisa menemukan makna dari kehilangan tersebut.
Teori Psikologi di Balik Rasa Kehilangan
Mengapa kehilangan sahabat bisa terasa lebih menyakitkan daripada kehilangan teman biasa? John Bowlby (1969), dalam teori attachment-nya menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar untuk membentuk dan mempertahankan ikatan emosional yang kuat. Sahabat, menjadi figur attachment yang memberikan rasa aman dan nyaman dalam hidup manusia. Ketika ikatan ini terputus, tubuh dan pikiran manusia seolah mengalami guncangan, seperti hilang sandaran hidup. Bayangkan ketika kamu kehilangan cermin kesayangan yang selama ini membantumu untuk melihat dirimu sendiri dengan lebih jelas, seperti itulah sahabat dapat dianalogikan. Mereka membantu kita dalam memahami siapa kita sebenarnya. Kehilangan mereka bukan hanya kehilangan teman bicara, tetapi juga kehilangan sebagian dari diri kita.
Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi fenomena tersebut. Ada yang menutup diri dengan pertemanan baru, ada yang mencari pengganti persahabatan yang hilang seperti burung kehilangan sarang dan terbang dari satu dahan ke dahan yang lain, ada pula yang seperti pohon yang tertiup badai kencang, tetapi akarnya yang kuat membantu mereka tetap berdiri sendiri. Setiap kenangan itu menjadi pisau yang tersembunyi. Foto-foto lama kita di sosial media, lagu yang pernah kita nyanyikan bersama, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Semuanya meledak berubah menjadi arsip kenangan yang menyakitkan. Ada rasa sedih yang aneh, bercampur dengan kerinduan, kemarahan, dan kehilangan.
Dalam kacamata psikologi positif meyakini setiap pengalaman sulit pasti membawa peluang untuk menghadirkan pertumbuhan (Post-Traumatic Growth). Putusnya persahabatan, meskipun menyakitkan, tetapi dapat menjadi katalisator bagi transformasi diri yang bermakna. Mengupas aspek cinta dalam perspektif psikologi positif, cinta dalam persahabatan ini dikategorikan sebagai Companionate Love, yaitu rasa nyaman dan aman yang dirasakan dalam sebuah hubungan. Persahabatan memungkinkan kita merasa dekat , diterima, dan saling mendukung (Lopez et al., 2019).
Selain itu, proses penyembuhan dari kehilangan ini menjadi dinamika emosional yang unik dan kompleks. Setiap individu memiliki mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) serta cara pemulihan yang berbeda. Pada tahap awal pemulihan, emosi yang dirasakan sering kali bercampur aduk dengan berbagai emosi lainnya. Misalnya seperti, kesedihan bercampur dengan kebingungan, kemarahan, bahkan kerinduan. Fase ini disebut ‘masa berkabung sosial’, merupakan proses alamiah untuk mulai menerima dan memproses hilangnya ikatan emosional yang begitu erat (Stroebe & Schut,1999).
Proses Pemulihan dan Pertumbuhan Diri
Kehilangan sahabat tentu bukan hal yang mudah, tetapi psikologi positif meyakini bahwa di balik setiap kehilangan, pasti terdapat ruang untuk kita dapat bertumbuh. Berpisah dengan sahabat bisa menjadi kesempatan untuk menemukan kembali jati diri kita. Pengalaman ini memaksa kita untuk bangkit menjadi lebih kuat, menemukan makna di balik rasa sakit kehilangan, dan membentuk hubungan yang lebih sehat di masa depan.
Proses pemulihan ini memang tidak instan. Stroebe & Schut (1999) menjelaskan bahwa pemulihan dari kehilangan, seperti friendship breakup, memiliki fase-fase emosional yang mirip dengan berkabung. Awalnya memang ada rasa sedih yang bercampur dengan rindu, bingung, dan marah. Namun, seiring waktu, kita mulai menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan selalu menetap dalam hidup kita. Seperti pepatah, “people come and go”. Melalui proses ini, kita diberi kesempatan untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri.
Dalam perspektif psikologi positif, momen kehilangan ini menjadi peluang untuk merefleksikan diri dan untuk menemukan kembali diri kita. Kita dapat bertanya pada diri sendiri, “Apa yang bisa kita ambil dari perpisahan ini?” atau “Siapakah diriku jika tidak ada mereka?” Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu kita menyadari bahwa kita tetap mampu menjalani hidup dan berkembang meskipun tanpa kehadiran mereka. Seiring waktu, kita akan bertemu dengan orang-orang baru yang lebih selaras dalam perjalanan hidup kita.
Jika kamu sedang merasakan Friendship breakup, ingatlah bahwa kamu tidak sendiri. Perasaan sedihmu itu valid, dan setiap langkah kecil menuju penyembuhan layak untuk dirayakan. Percayalah, waktu, ditambah dengan usaha positif yang kamu lakukan, akan membawa penyembuhan sekaligus membuka jalan menuju pertumbuhan yang lebih baik.
Referensi:
Bowlby, J. (1969). Attachment and loss: Vol. 1. Attachment. New York, NY: Basic Books.
Lopez, S. J., Pedrotti, J. T., & Snyder, C. R. (2019). Positive psychology: The scientific and practical explorations of human strengths (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Stroebe, M., & Schut, H. (1999). The dual process model of coping with bereavement: Rationale and description. Death Studies, 23(3), 197–224. https://doi.org/10.1080/074811899201046