Psyjian Vol.2 #2—QRIS Dipertanyakan Amerika: Kenapa Kita Justru Mulai Percaya?
Dulu, kita ragu memakai QRIS. Sekarang, kita lebih rela antri sambil membuka ponsel dibanding membuka dompet. Tapi, kenapa Amerika justru terlihat gelisah? Quick Response Code Indonesian Standard atau lebih kita kenal dengan QRIS adalah sistem pembayaran nasional Indonesia yang kini mendapat sorotan tajam dari Amerika Serikat, yang kemudian menimbulkan pertanyaan, “kenapa negara adidaya semaju Amerika Serikat mempermasalahkan sistem lokal Indonesia seperti QRIS?” Tentu menjawab pertanyaan ini tidak sesederhana bahasan teknologi atau QRIS yang menjadikan proses transaksi menjadi lebih efisien. Ada hal yang jauh lebih besar lagi, seperti dominasi sistem keuangan global dan ancaman atas monopoli yang selama ini dipegang oleh VISA atau MasterCard.
QRIS, GPN, dan Kemandirian Digital
QRIS tidak hanya sekedar alat pembayaran digital. QRIS merupakan bagian dari skema besar Indonesia melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk membangun kedaulatan sistem keuangan. Dengan adanya GPN, transaksi domestik tentu bisa lebih murah, efisien, dan tidak harus bergantung pada sistem asing yang dapat mengambil potongan besar pada setiap transaksi yang dilakukan. Bagi Amerika Serikat, QRIS merupakan simbol perlawanan negara berkembang terhadap monopoli keuangan global. Maka tidak heran jika kemunculan dan perkembangan QRIS justru memantik kritik dari Amerika Serikat yang dikhawatirkan dapat menggeser peran VISA dan MasterCard di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
QRIS serta Dampaknya
Dikutip dari metrotvnews.com, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan sebesar hampir 170 persen per tahun. Pada kuartal pertama 2025, pengguna QRIS mencapai 56,3 juta, dengan volume transaksi mencapai 2,6 miliar dan total nilai transaksi mencapai Rp262,1 triliun. Sebagian besar merchant yang menggunakan QRIS adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kenaikan transaksi QRIS ini sejalan dengan pertumbuhan transaksi ekonomi digital di Indonesia. Transaksi pembayaran digital melalui aplikasi internet pada kuartal I-2025 mencapai 10,76 miliar, menandai kenaikan 33,5 persen per tahun.
Penggunaan QRIS memang menawarkan banyak keunggulan, seperti transaksi cepat, tanpa kontak, minimnya uang palsu, serta biaya operasional yang rendah. Bahkan cukup satu kode QRIS, dapat menerima pembayaran dari berbagai aplikasi, seperti ShopeePay, GoPay, Dana, dan lain sebagainya. Namun dibalik itu semua, beberapa masyarakat tetap enggan menggunakan QRIS karena beberapa alasan tertentu seperti masalah jaringan internet, kurangnya literasi digital, ketidakpahaman cara pakai QRIS, serta tak jarang konsumen mengalami kesulitan memindai kode hingga akhirnya membatalkan transaksi.
Kritik Amerika: Monopoli yang Terancam?
Amerika Serikat melalui arsip USTR (United States Trade Representative) menyatakan bahwa QRIS dan GPN “menghambat perdagangan” karena dinilai membatasi akses penyedia jasa pembayaran asing di ritel domestik dan dapat berpotensi mendistorsi pasar. Selain itu, mereka menyoroti sistem ini sebagai tertutup, tidak transparan, dan sulit diintegrasikan dengan sistem global milik Amerika. Narasi kritik Amerika tidak datang dengan nada meremehkan, mereka tidak menyebut QRIS lemah, melainkan terlalu eksklusif, terlalu tertutup, dan terlalu efektif. Padahal QRIS dibangun di atas standar global seperti EMVCo (Europay, MasterCard, dan Visa). Lalu jika bukan soal kualitas, mengapa mereka resah? QRIS cukup mengancam model bisnis lama dan memotong jalur pembayaran lintas negara yang selama ini dikuasai oleh korporasi mereka. Sistem ini menunjukkan efektivitas nyata dalam menyatukan layanan, menekan biaya, dan membangun ekosistem digital nasional. Kritik ini pun menciptakan narasi baru di publik, seolah-olah sistem nasional Indonesia justru menjadi penghambat sistem global yang lebih “terbuka”. Namun, narasi ini justru menimbulkan pertanyaan balik dari publik. Jika QRIS dipertanyakan oleh AS, mungkinkah ini justru karena sistem kita berhasil? Masyarakat yang semula yakin, mulai mempertanyakan ulang keyakinan lamanya.
Respon Indonesia: Tersirat namun Tegas
Di tengah kritik Amerika, Bank Indonesia bersikap tenang namun tegas. Dikutip dari Tempo.com, Bank Indonesia (BI) merespons keluhan pemerintah Amerika Serikat tentang sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang dinilai menjadi salah satu hambatan perdagangan Amerika dan Indonesia. Menurut Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, kerja sama Indonesia dengan negara lain untuk QRIS atau fast payment lainnya bergantung pada kesiapan masing-masing negara, termasuk dengan Amerika Serikat. “Jadi kami tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa tidak?” ujar Destry kepada wartawan dalam acara Edukasi Keuangan bagi Pekerja Migran Indonesia di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin, 21 April 2025. Menurut Destry, sampai saat ini Apenggunaan Visa dan Mastercard—yang berasal dari AS—masih dominan di Indonesia. “Sampai sekarang kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu tidak ada masalah sebenarnya,” tuturnya. Indonesia masih terbuka untuk kerja sama internasional yang berbasis kemitraan yang sama
Disonansi Kognitif: Kritik yang Mengubah Persepsi
Berkaitan dengan respon Indonesia, pernahkah kita sadar bahwa kritik dari luar justru menyulut perubahan sikap publik terhadap QRIS?. Dulu masyarakat indonesia cukup enggan untuk menggunakan QRIS dengan berbagai alasan, seperti takut tidak praktis, takut kena potongan, hingga curiga QRIS hanya trik tipu daya digitalisasi. Tapi, ketika sistem ini mendapat tekanan dari luar khususnya Amerika, yang notabene pemilik dominasi Visa dan Mastercard persepsi publik mulai bergeser. Ketidaksukaan pada dominasi asing bertabrakan dengan sikap skeptis mereka sebelumnya.
Di sinilah terlihat adanya disonansi kognitif, Menurut Leon Festinger, disonansi kognitif terjadi ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian antara keyakinan dan realita, dan untuk mengatasi ketidaknyamanan itu, mereka akan mengubah sikap atau cara pandang. Pada kasus QRIS, masyarakat sebelumnya merasa skeptis. Namun ketika QRIS justru dikritik oleh Amerika, muncul dorongan emosional baru, ketidaksukaan terhadap dominasi asing bertabrakan dengan sikap skeptis sebelumnya. Maka terjadilah disonansi. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman itu, sebagian mulai mengubah sikap dengan mengadopsi QRIS bukan sekadar karena fungsinya, tapi sebagai bentuk pembelaan psikologis terhadap kedaulatan digital nasional. Ketika masyarakat awalnya menolak QRIS karena faktor teknis atau ketidakpercayaan, tapi kemudian berhadapan dengan kenyataan, semua toko mulai pakai QRIS, pembayaran digital jadi lebih cepat dan praktis, dan muncul narasi bahwa QRIS adalah “produk dalam negeri yang sedang ditekan asing”
Penutup : Kritik melahirkan Keyakinan Baru
Kritik dari luar negeri, khususnya dari negara adidaya, tidak selalu melemahkan. Dalam kasus QRIS, kritik itu justru menjadi pemantik kesadaran publik, bahwa kita punya sistem sendiri, yang mampu bersaing, dan bahkan cukup kuat untuk dipermasalahkan oleh negara besar. Teori disonansi kognitif menjelaskan bahwa perubahan sikap tidak selalu datang dari edukasi atau promosi. Kadang, perubahan itu lahir dari ketegangan batin, konflik nilai, dan benturan antara sikap lama dan kenyataan baru. Dan dari situ, lahir keyakinan yang lebih kuat bahwa QRIS bukan hanya alat bayar, tapi bagian dari perjuangan membangun kemandirian ekonomi digital Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, I., Wardana, A., & Mariyati, L. (2023). Persepsi masyarakat terhadap penggunaan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS). TAZKIR: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman, 9(1), 42–56.
Y, A. L., & Ariyani, R. (2025, April 21). BI Tanggapi Sorotan AS terhadap Penggunaan QRIS di RI. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/bi-tanggapi-sorotan-as-terhadap-penggunaan-qris-di-ri-1233790
Tv, M. (n.d.). Mengapa QRIS dan GPN Dikritik Amerika Serikat? [Video]. https://www.metrotvnews.com.https://www.metrotvnews.com/play/kqYCYxoV-mengapa-qris-dan-gpn-dikritik-amerika-serikat
P, A. N., & Ariyani, R. (2025, May 4). Pemerintah Diminta Tidak Menuruti Protes AS soal Penggunaan QRIS. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/pemerintah-diminta-tidak-menuruti-protes-as-soal-penggunaan-qris-1334472
Tv, M. (2025, April 24). Transaksi QRIS di Indonesia Melonjak Hampir 170%. https://www.metrotvnews.com.https://www.metrotvnews.com/read/KRXCd55X-transaksi-qris-di-indonesia-melonjak-hampir-170