Psyjian Vol.2 #3—Aku benar, dia salah: Analisis Kritis Insiden Sukabumi dari Perspektif Teori Identitas Sosial
Sebuah insiden yang memicu perhatian nasional terjadi pada akhir Juni 2025 di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ketika sebuah kegiatan retret yang diikuti oleh sejumlah pelajar Kristen dibubarkan secara paksa oleh ratusan warga setempat. Peristiwa ini menjadi viral setelah rekaman aksi perusakan fasilitas di lokasi kejadian menyebar luas di media sosial (Tempo, 2025; CNN Indonesia, 2025a). Awalnya, narasi yang beredar menyebut adanya perusakan gereja, tetapi keterangan dari pihak berwenang menegaskan bahwa lokasi tersebut bukanlah gereja yang terdaftar secara resmi, melainkan sebuah vila atau rumah tinggal pribadi yang disewa untuk kegiatan keagamaan (Sukabumiupdate.com, 2025a; Sukabumiupdate.com, 2025b).
Pemicu utama kemarahan warga adalah adanya penggunaan berulang rumah tersebut untuk ibadah komunal tanpa adanya izin resmi sebagai rumah ibadah, tindakan tersebut yang dianggap melanggar aturan dan norma yang disepakati di lingkungan tersebut (CNN Indonesia, 2025a; Kabarterdepan.com, 2025). Menurut keterangan kepala desa setempat, pemilik properti telah beberapa kali menerima peringatan sebelumnya. Puncak kejadian terjadi pada hari Jumat, 27 Juni 2025, ketika pelaksanaan kegiatan retret masih berlangsung. Massa yang telah berkumpul mendatangi vila tersebut dan meluapkan ketidakpuasan mereka dengan memaksa para pelajar untuk menghentikan kegiatan retret. Situasi memanas hingga berujung pada tindakan anarkis berupa perusakan properti (Kabarterdepan.com, 2025). Massa merusak perabotan seperti meja dan kursi serta memecahkan kaca jendela. Rekamannya kemudian menjadi bukti utama yang menyebar di dunia maya. Tindakan main hakim sendiri ini segera memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, mulai dari organisasi masyarakat sipil hingga lembaga negara. Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Cidahu segera melakukan mediasi untuk meredam situasi, tetapi desakan publik agar kasus ini diproses secara hukum terus menguat seiring dengan viralnya video kejadian. Menanggapi insiden tersebut, pihak kepolisian dan pemerintah daerah menegaskan bahwa kedudukan bangunan adalah vila atau rumah singgah, bukan rumah ibadah (Sukabumiupdate.com, 2025a). Polres Sukabumi menyatakan ini semata kesalahpahaman antar‑individu, lalu pada tanggal 1 Juli 2025, kepolisian mengumumkan tersangka dari kejadian tersebut yang berjumlah tujuh orang, yang kemudian bertambah menjadi delapan orang setelah dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut (Sukabumiupdate.com, 2025b; CNN Indonesia, 2025b). Komnas HAM mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran HAM dan mendesak proses hukum yang adil serta perlindungan terhadap korban (Sukabumiupdate.com, 2025c). Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, turun langsung ke lokasi untuk memastikan proses hukum terus berjalan, menetapkan tersangka, serta mengalokasikan bantuan perbaikan sebesar 100 juta rupiah kepada pemilik vila (Sukabumiupdate.com, 2025b).
Peristiwa pembubaran paksa dan perusakan fasilitas retret pelajar di Cidahu, Sukabumi, dapat dianalisis secara mendalam melalui kacamata Teori Identitas Sosial yang pertama kali dicetuskan oleh Henri Tajfel dan John Turner (Kassin et al., 2017; Scheepers & Ellemers, 2019). Teori ini, menjelaskan bagaimana individu cenderung mengkategorikan diri mereka dan orang lain ke dalam kelompok sosial tertentu, yang kemudian memengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku mereka (Baron & Branscombe, 2012). Dalam kasus ini, teori tersebut menyoroti tiga proses psikologis utama yang saling terkait.
Pada proses pertama, yaitu kategorisasi sosial. Warga setempat secara otomatis mengkategorikan diri mereka sebagai in-group (kelompok kami), yang dalam konteks ini adalah komunitas penduduk lokal dengan identitas mayoritas yang sama, baik secara agama maupun budaya. Sementara itu, para pelajar yang sedang mengadakan retret dipersepsikan sebagai out-group (kelompok mereka), sekelompok “orang luar” yang tidak hanya berbeda secara daerah, tetapi juga secara keyakinan. Kategorisasi ini adalah langkah awal yang fundamental; ia menciptakan batas psikologis antara “kita” dan “mereka” (Turner et al., 1987).
Kedua, proses ini memicu identifikasi sosial, di mana harga diri (self-esteem) anggota in-group menjadi terkait dengan status dan citra kelompoknya. Kegiatan retret oleh out-group, yang dianggap tidak sesuai dengan norma lokal (karena ketiadaan izin formal di rumah tinggal), dipersepsikan sebagai ancaman terhadap norma, nilai, dan bahkan “teritori” in-group (Scheepers & Ellemers, 2019). Untuk melindungi identitas sosial dan harga diri kolektif ini, in-group merasa perlu untuk menegaskan dominasinya. Dari sudut pandang mereka, perilaku agresif ini bisa jadi merupakan upaya untuk “menjaga kehormatan” atau “menegakkan aturan” kelompok (Baron & Branscombe, 2012).
Ketiga, proses perbandingan sosial yang sering kali berujung pada in-group favoritism (keberpihakan pada kelompok sendiri) dan out-group derogation (perendahan kelompok luar). Anggota in-group cenderung memandang kelompoknya lebih positif dan merendahkan out-group (Kassin et al., 2017). Dalam insiden ini, hal tersebut termanifestasi dalam tindakan perusakan dan ucapan kasar. Massa tidak lagi melihat para pelajar sebagai individu, melainkan sebagai representasi dari out-group yang “salah” dan “melanggar”. Fenomena deindividuasi juga berperan penting di sini. Dalam kerumunan besar, individu kehilangan rasa tanggung jawab pribadi dan lebih mudah bertindak impulsif serta agresif karena identitas personal mereka melebur ke dalam identitas kelompok yang sedang marah (Kassin et al., 2017).
Dengan demikian, insiden di Sukabumi bukan sekadar sengketa izin, melainkan sebuah drama psikologi sosial.[MN1] Ia adalah manifestasi tragis dari bagaimana mekanisme identitas kelompok dapat memicu prasangka, diskriminasi, dan agresi ketika dipicu oleh persepsi ancaman terhadap in-group (Baron & Branscombe, 2012; Scheepers & Ellemers, 2019).
Daftar Pustaka
Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2012). Social psychology (13th ed.). Pearson.
CNN Indonesia. (2025, Juni 30). Warga bubarkan retreat pelajar Kristen di Sukabumi, polisi terjun usut. CNN Indonesia.
CNN Indonesia. (2025, Juli 6). Update pembubaran retret Kristen di Sukabumi: 8 orang jadi tersangka. CNN Indonesia.
Kabarterdepan.com. (2025). Wanita ini ungkap detik‑detik retret pelajar Kristen dibubarkan warga di vila Cidahu Sukabumi. Kabarterdepan.com.
Kassin, S., Fein, S., & Markus, H. R. (2017). Social psychology (10th ed.). Cengage Learning.
Scheepers, D., & Ellemers, N. (2019). Social identity theory. In R. J. Sternberg & S. T. Fiske (Eds.), The Cambridge Handbook of Social Psychology. Cambridge University Press.
Sukabumiupdate.com. (2025, Juli 4). Kapolres Sukabumi: Retret pelajar Kristen dibubarkan karena kesalahpahaman, bukan konflik agama. Sukabumiupdate.com.
Sukabumiupdate.com. (2025, Juli 1). Pembubaran retret hingga 7 tersangka, kisah perusakan vila di Sukabumi yang menyita perhatian. Sukabumiupdate.com.
Sukabumiupdate.com. (2025, Juli 12). Komnas HAM: Pembubaran retret pelajar Kristen di Sukabumi pelanggaran hak asasi manusia. Sukabumiupdate.com.
Tempo. (2025, Juni). Retret Pelajar Kristen di Cidahu Sukabumi Dibubarkan Warga. Tempo.co.
Turner, J. C., Hogg, M. A., Oakes, P. J., Reicher, S. D., & Wetherell, M. S. (1987). Rediscovering the social group: A self-categorization theory. Basil Blackwell.
