Psikoedukasi— Brain Rot is Brain Rotting the Brain

Tahukah Kamu?

Belum lama ini sering kita mendapati sebuah istilah yang sedang populer yaitu “Brain Rot”. Satu tahun silam, istilah ini dinobatkan sebagai “Word of the Year” oleh Universitas Oxford. Hal tersebut sebagai hasil dari meningkatnya frekuensi penggunaan istilah sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024 [1]. Mengutip dari laman psyche.co istilah tersebut telah banyak digunakan oleh anak muda, khususnya Gen Z dan Gen Alpha sebagai lelucon absurd yang terbungkus dengan lucu [2]. Namun, dibalik popularitas dan kaitannya dengan hal lucu, sejumlah penelitian dan pengamat psikologi menyoroti sisi negatif dari fenomena ini, terutama dampaknya terhadap perhatian, regulasi diri, dan kebiasaan belajar.

Manusia di-Rancang Untuk Hidup Optimal

Setiap langkah dalam kehidupan manusia selalu disertai pembelajaran, dari membuka mata hingga menutupnya kembali. Atas dasar pola tersebut, lahirlah sebuah sistem yang mendukung, yaitu sekolah. Sekolah hadir sebagai wadah pengasahan otak agar kita mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan di masa depan. Tanpa kita sadari, sekolah juga melatih kita untuk memperhatikan, menjaga fokus, dan melatih daya konsentrasi dengan rentang waktu yang cukup panjang melalui ujaran guru-guru di kelas.

Namun, tantangan pemecahan masalah kehidupan nyata semakin terlihat dengan kehadiran teknologi dan media sosial. Pada Januari 2019, sebuah jurnal melaporkan sebanyak 150 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial, dengan prevalensi sebesar 56% dari total populasi [3]. Perubahan kondisi juga berarti perubahan proses dan cara belajar. Sayangnya, perubahan tersebut turut menyumbangkan produk-produk yang justru dapat memperlemah kemampuan berpikir manusia, salah satunya adalah video pendek.

Kehadiran shorts dapat mengurangi perhatian otak karena membuat kita terbiasa untuk melompat cepat dari satu konten ke konten lainnya dalam hitungan detik. Kurangnya perhatian ini menghalangi tercapainya state of flow, yaitu kondisi ketika seseorang sepenuhnya tenggelam dan terfokus pada suatu aktivitas, dengan perhatian penuh, hilangnya rasa waktu, serta keterlibatan mental yang mendalam. Dalam keadaan ini, otak tidak mudah terdistraksi oleh hal-hal di luar aktivitas yang sedang dilakukan [4]. Mengonsumsi video pendek tidak hanya dapat mengikis kemampuan berpikir mendalam, tetapi juga berpotensi merusak kesehatan mental. Dari sinilah lahir fenomena yang sering disebut dengan brain rot

Secara sederhana, brain rot adalah kondisi ketika kemampuan mental atau intelektual seseorang mengalami kemunduran akibat terlalu banyak mengonsumsi konten yang bersifat dangkal, sepele, atau tidak menantang. Brain rot sering kali dijumpai di media sosial dengan beragam bentuk. Gambaran paling umum adalah video absurd berdurasi pendek yang terus berulang tanpa jeda. Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan penyebabnya yaitu konten berkualitas rendah yang banyak beredar di media sosial, serta aksi doom scrolling yang merupakan kebiasaan menggulir layar tanpa henti untuk mengkonsumsi konten-konten media sosial.

Apa yang Terjadi Sebenarnya?

Hasil riset pada remaja dan dewasa muda menemukan bahwa intensitas konsumsi video pendek dikaitkan dengan peningkatan kecanduan, persepsi peningkatan suasana hati, serta penurunan kontrol atensi [5]. Penggunaan yang kecanduan menunjukkan lebih banyak distraksi, minat yang menurun, dan konsentrasi atensi yang terganggu baik saat maupun sesudah konsumsi shorts [6]. Lebih lanjut, bukti neurofisiologis menunjukkan bahwa kecanduan video pendek berhubungan dengan kurangnya kontrol eksekutif di prefrontal cortex serta rendahnya pengendalian diri [7].

Pada saat mengonsumsi shorts secara tidak sadar kita mencari hiburan yang instan. Setiap kali kita menonton shorts yang memicu rasa penasaran atau tawa, otak melepaskan dopamin sebagai ‘hadiah kecil’. Kebiasaan ini membuat kita cenderung memilih kesenangan cepat dibandingkan aktivitas yang membutuhkan proses panjang dan kesabaran. Lama-kelamaan, pola seperti ini akan memperkuat perilaku impulsif dan mengurangi motivasi untuk menahan diri dan distraksi. Akibatnya, kemampuan kita untuk mengelola perhatian dan energi mental dapat ikut melemah [8].

Hal ini tentunya mengkhawatirkan, terutama bagi kalangan remaja dan dewasa awal yang menjadi tonggak penting perkembangan. Meski tantangan tersebut terasa berat, selalu ada peluang untuk menemukan jalan keluarnya. Pencegahan dapat dilakukan dengan perbekalan pengetahuan untuk membentengi diri agar kita bijak dalam bersosial media. 

Kenali Gejala Sejak Dini

Hidup berdampingan dengan media sosial tentu telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan, sehingga memunculkan fenomena brain rot sebagai salah satu dampaknya. Fenomena ini tentunya harus diperhatikan dengan serius agar kita tidak menjadi korban, dengan mengenali tanda-tanda ketika penggunaan media sosial mulai bergeser ke arah negatif. Beberapa tanda-tanda tersebut tercermin pada pola pikir dan perilaku. 

Tanda pertama, individu yang terdampak sering kali mengalami penurunan rentang atensi. Dalam hal ini, individu tersebut akan sulit untuk mempertahankan konsentrasi pada tugas yang membutuhkan durasi panjang, seperti membaca buku, menyelesaikan tugas, atau bahkan menonton film yang tidak memicu rancangan cepat [9]. 

Tanda kedua, dari sisi perilaku, gejala yang paling menonjol adalah kebiasaan kompulsif dan impulsif. Individu yang terdampak mungkin mendapati diri melakukan doom scrolling tanpa tujuan yang jelas, hanya menggeser layar tanpa mencari konten tertentu. Hasilnya, hal ini dapat menyebabkan kecenderungan untuk mengambil keputusan yang cepat dan impulsif dengan informasi yang terbatas. Selain itu, terdapat kecenderungan untuk menunda-nunda pekerjaan atau tugas, sebagai bentuk penghindaran aktifitas yang membutuhkan fokus dan usaha mental lebih besar [10].

Langkah Pencegahan dan Penanganan

Dalam menghadapi kenyataan ini, kita perlu kesadaran penuh dengan menerapkan beberapa strategi, langkah pertama adalah mengembangkan kesadaran diri dengan memperhatikan bagaimana perasaan setelah menggunakan media sosial dan mengakui jika mengalami efek negatif. Kedua, melakukan kurasi konten digital dengan unfollow atau mute akun yang memicu perbandingan sosial atau emosi negatif, dan sebaliknya mengikuti akun yang inspiratif dan mendukung kesehatan mental. Ketiga, melatih fokus dengan menyisihkan waktu untuk aktivitas tanpa gangguan digital dapat membantu melatih kembali kemampuan konsentrasi. Keempat, meningkatkan edukasi literasi digital yang berperan penting dalam membantu generasi muda memahami cara kerja algoritma dan dampaknya pada otak. Yang paling utama yaitu menetapkan batasan waktu yang jelas untuk penggunaan platform media sosial sehari-hari.

Referensi 

Anwar, M., Amir, F. R., Usman, H., & Anoegrajekti, N. (2021, Desember). Language Impoliteness among Indonesians on Twitter. Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of Communication, 37(4), 161-176. https://doi.org/10.17576/JKMJC-2021-3704-10

Chen, Y., Li, M., Guo, F., & Wang, X. (2022). The effect of short-form video addiction on users’ attention. Behaviour & Information Technology, 41(14), 2893-2910. https://doi.org/10.1080/0144929X.2022.2151512

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The Psychology of Optimal Experience. Harper & Row.

Firth, J., Torous, J., Stubbs, B., Firth, J. A., Steiner, G. Z., Smith, L., Alvarez-Jimenez, M., Gleeson, J., Vancampfort, D., Armitage, C. J., & Sarris, J. (2019, Mei 6). The “online brain”: how the Internet may be changing our cognition. World Psychiatry, 18(2), 119–129. https://doi.org/10.1002/wps.20617

Florida Atlantic University. (n.d.). Brain Rot. Retrieved from https://www.fau.edu/thrive/students/thrive-thursdays/psychological_conditioning_brainrot/brainrot/

Hidayatullah. (2025, Maret 14). Riset: Kecanduan Video Pendek dan TikTok akan Alami Pergeseran Otak. Retrieved from https://hidayatullah.com/iptekes/2025/03/14/291453/riset-kecanduan-video-pendek-dan-tiktok-akan-alami-pergeseran-otak.html

IPB University. (2025, Juli 07). IPB University Expert Warns of Serious Impact of Brainrot Anomaly on Child and Adolescent Development. Retrieved from https://www.ipb.ac.id/news/index/2025/07/ipb-university-expert-warns-of-serious-impact-of-brainrot-anomaly-on-child-and-adolescent-development

Keles, K. (n.d.). Why teenagers are deliberately seeking ‘brain rot’ on TikTok. Psyche. Retrieved from https://psyche.co/ideas/why-teenagers-are-deliberately-seeking-brain-rot-on-tiktok

Limbachiya, M. A. (n.d.). The Digital Shift: How Short-Form Content and Instant Gratification are Reshaping Consumer Behaviour and Patience. https://doi.org/10.55041/ijsrem46304

Newport Institute. (n.d.). Brain Rot. Retrieved from https://www.newportinstitute.com/resources/co-occurring-disorders/brain-rot/

Oxford University Press. (2024). Brain rot named Oxford Word of the Year 2024. Retrieved from https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/

Yan, T., Su, C., Xue, W., Hu, Y., & Zhou, H. (2024, Juni 27). Mobile phone short video use negatively impacts attention functions: an EEG study. Frontiers in Human Neuroscience, 18. https://doi.org/10.3389/fnhum.2024.1383913

Ye, J.-H., Zheng, J., Nong, W., & Yang, X. (2025). Potential Effect of Short Video Usage Intensity on Short Video Addiction, Perceived Mood Enhancement (‘TikTok Brain’), and Attention Control among Chinese Adolescents. International Journal of Mental Health Promotion, 27(3), 271-286. https://doi.org/10.32604/ijmhp.2025.059929

Yousef, A. M. F., Alshamy, A., Tlili, A., & Metwally, A. H. S. (2025). Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review. Brain Sciences, 15(3), 283. https://doi.org/10.3390/brainsci15030283

Penulis: Virzie Putri Sidabalok, Khalith Ahmad Muhathir 

Penyunting: Aisyah Hira Elbadar, Monica Nur Romadhoni