Mengurai Benang Kusut Emosi: Displacement dan Regulasi Emosi dalam Kasus Kekerasan Pengasuh pada Anak Selebgram

Akhir-akhir ini, publik digegerkan dengan berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh pengasuh terhadap anak seorang selebgram terkenal yang berusia 3,5 tahun. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kesedihan dan kemarahan di kalangan masyarakat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai apa motivasi yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan keji itu terhadap seorang anak yang tak berdaya.

Kasus ini, dapat dijelakan oleh salah satu tokoh Psikologi yaitu Sigmund Freud. Ia mengenalkan konsep displacement atau perpindahan, yaitu salah satu mekanisme pertahanan dalam teori psikoanalisis yang dikembangkan olehnya.  Displacement terjadi ketika emosi negatif yang seharusnya ditujukan kepada objek atau orang  tertentu, yang justru dialihkan ke orang atau objek lain yang lebih lemah atau lebih aman sebagai targetnya. Pada kasus ini, mungkin saja si pengasuh mengalami stres karena tekanan dari pekerjaan, majikan, keluarga, lingkungan atau hal lainya, sehingga tanpa sadar menyalurkan emosinya kepada anak yang dijaga.

Hal ini juga dapat dikaitkan dengan kurangnya regulasi emosi yang baik dari pengasuh tersebut. Regulasi emosi, merupakan kemampuan mengelola dan merespons pengalaman emosional secara efektif yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan. Kemampuan ini mencakup kesadaran akan emosi yang dirasakan, memahami penyebab emosi tersebut, dan menemukan cara yang konstruktif untuk mengatasi emosi tersebut tanpa menyakiti diri sendiri atau orang lain. Dalam konteks kekerasan yang dilakukan oleh pengasuh, kemungkinan terdapat kegagalan dalam mengatur emosi yang bisa dipicu oleh berbagai faktor, seperti tekanan pribadi, kurangnya dukungan sosial, atau masalah kesehatan mental yang tidak terdiagnosis atau tidak ditangani.

Menurut teori Freud, displacement bukan hanya semata-mata transfer agresi, tetapi juga dapat diartikan sebagai panggilan bantuan yang tersembunyi. Mungkin, pengasuh yang melakukan kekerasan tengah merasa tertekan secara emosional dan tidak bisa mengekspresikan atau menangani perasaannya dengan baik. Situasi ini mengingatkan kita akan pentingnya penanganan yang tepat terhadap isu kesehatan mental, tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi semua orang yang terlibat dalam pengasuhan anak, termasuk pengasuh. Intervensi dini dan pendidikan mengenai regulasi emosi serta kesehatan mental dapat membantu mencegah tragedi serupa di masa depan.

Kasus ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya lingkungan yang supportive dan berempati dalam setiap aspek kehidupan. Para orang tua dan pengasuh anak perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang cara mengelola stres dan emosi negatif. Pendidikan dan pelatihan tentang kesehatan mental dan regulasi emosi harus menjadi prioritas, bukan hanya dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam kebijakan publik dan program pendidikan. Dengan demikian, kita bisa berharap menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan psikologis, di mana kekerasan menjadi hal yang jarang terjadi.

Tragedi yang menimpa anak selebgram tersebut membuka mata dan hati kita akan pentingnya memahami psikologi manusia, khususnya dalam konteks displacement dan regulasi emosi. Menangani  masalah ini tidak hanya tanggung jawab individu yang terlibat secara langsung, tapi juga tugas seluruh   masyarakat untuk lebih proaktif dalam mendukung kesehatan mental bagi semua orang.

Penulis : Divisi PKK

Penyunting : Isabella Maya & Dzahabiyyah Adyana