Does “THICK OF IT” Really Deserve the Hate?

Olajide Olayinka Williams “JJ” Olatunji, atau lebih dikenal dengan nama panggung KSI, adalah seorang YouTuber populer sekaligus seorang influencer yang telah mencoba berbagai profesi, mulai dari menjadi seorang boxer hingga kini mencoba mencicipi ranah dunia musik sebagai musisi. Perjalanan musiknya dimulai dengan perilisan lagu pertamanya “Lamborghini,” yang sukses mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan, terutama para penggemar YouTube, meme enthusiasts, dan komunitas daring lainnya seperti para penyelam handal (brain roter’s). Sejak saat itu, KSI telah merilis sejumlah lagu lainnya dan telah berkolaborasi dengan para musisi terkenal seperti Anne Marie, Lil Pump, Trippie Redd, Rick Ross, dan masih banyak lagi.

Namun, pada karya terbarunya yang berjudul  “Thick OF It,” mendapatkan sambutan yang cukup berbeda dari sebelumnya. Selain antusiasme dari sebagian penggemarnya saja yang terlihat, lagu ini juga menimbulkan gelombang besar ujaran kebencian (hate) yang muncul di berbagai platform media sosial. Komentar negatif ini terlontar dalam berbagai bentuk, mulai dari kritik terhadap kualitas musiknya tanpa argumen yang jelas, komentar bernada rasis, hingga  serangan secara personal terhadap KSI. Bahkan sebelum lagu tersebut resmi dirilis, teaser-nya sudah memancing hate comment yang terus berlanjut hingga kini, satu bulan pasca peluncuran resminya.

Lagu ini memang menerima cukup banyak tanggapan negatif dari sebagian musisi, youtuber, dan juga masyarakat umum lainnya. Namun, tanggapan yang datang dari  beberapa pihak mengandung ujaran kebencian, dan bahkan terasa berlebihan. KSI yang cenderung defensif ketika menghadapi kritik dan hujatan yang diterima menyatakan bahwa mereka yang tidak menyukai lagunya “tidak memiliki taste” dalam musik, pernyataan itu tentu saja semakin memperburuk situasi yang ada. Tanggapan itu juga menimbulkan lebih banyak kebencian, baik dari orang-orang yang sebelumnya memang kurang suka dengan kepribadian KSI maupun dari audiens lain yang sebelumnya netral.

 

Sebenarnya, terdapat beberapa alasan di balik kasus hate speech yang diterima KSI sendiri. Dimulai dari terafiliasinya dengan Logan Paul (public enemy) yang dianggap sebagai penipu dan kerap kali memperdaya generasi muda (terutama generasi alpha) demi kepentingan pribadi (self interest). Konten KSI yang berunsur “bullying” membuat orang-orang, termasuk para penggemarnya, merasa bahwa KSI tidak bersikap gentle (cry baby). “Seharusnya ia bisa menerima apa yang dia dapatkan sebagaimana korban-korban yang telah ia bully” (random user on reddit).

Fenomena kebencian ini dapat dijelaskan dengan Teori Atribusi, yang memungkinkan kita memahami bagaimana orang merespons suatu peristiwa atau tindakan berdasarkan lingkungan dan alasan pribadi mereka. Dalam konteks ini, kebencian yang dilontarkan dapat dipahami sebagai reaksi terhadap karakter KSI serta perilakunya yang dianggap tidak mau menerima kritik.

Dalam Teori Atribusi (Harold Kelley dan Fritz Heider), terdapat dua jenis atribusi yang dapat menjelaskan perilaku individu, yakni atribusi internal dan eksternal.

Dalam atribusi internal, merujuk pada penyebab yang berasal dari dalam diri individu, seperti sifat, karakter, atau pandangan. Dalam konteks kebencian terhadap lagu KSI, banyak orang menilai melalui kepribadian dari KSI sebagai alasan utama yang membuat mereka merasa terganggu dan kesal. Tanggapan dari KSI yang enggan menerima kritik atau masukan, bahkan menyalahkan audiens atas kritikannya, telah menimbulkan perasaan kesal di banyak pihak dan mendorong mereka untuk menyuarakan kebencian yang mungkin sebelumnya terpendam, serta mengekspresikan kebencian itu melalui karya-karya yang dirilis KSI.

Sementara itu, dalam atribusi eksternal lebih merujuk pada faktor-faktor dari luar yang memengaruhi perilaku seseorang, seperti lingkungan atau konteks situasi. Yang mana ekspektasi terhadap kualitas musik yang ia rilis tidak memenuhi harapan mereka. Terutama untuk orang sekelas KSI yang merupakan seorang youtuber ternama dan telah terafiliasi dengan para musisi yang cukup terkenal di musik-musik sebelumnya, sehingga banyak yang masih skeptis terhadap penurunan kualitasnya dalam industri musik. Faktor eksternal lainnya bisa berupa standar kualitas musik yang berlaku di industri pada abad 20 ini, yang juga dapat memengaruhi cara orang menilai karyanya. Bahkan, ia masih sempat mempromosikan merek minumannya “PRIME” di dalam video musiknya. Serta beberapa sound effect dalam musiknya dinilai kurang kreatif karena menjiplak suara kilap pedang dari game roblox.

Ketika masyarakat melihat KSI merespon kritik dengan konotasi negatif, kalangan luas mungkin merasa bahwa sikapnya mengabaikan masukan serta ekspektasi mereka. Hal ini justru memicu tanggapan negatif menjadi lebih intens dan berkembang menjadi hate speech yang tidak hanya mengkritisi lagunya, tetapi juga melibatkan sentimen terhadap kehidupan personal KSI secara keseluruhan.

Meski ada banyak kritikan terhadap lagu KSI, penting untuk melihatnya secara objektif. Kritik yang masuk akal tentu diperlukan, tetapi ujaran kebencian yang berlebihan seperti komentar rasis atau serangan personal semestinya tidak terjadi. Lagu ini sebenarnya dianggap tidak terlalu buruk, bahkan digadang-gadang berpotensi menjadi lagu youtube rewind apabila rilis pada tahun 2015-2017 oleh banyak kalangan (youtubers & mememers). Lagu ini, jika dilihat dari target audiensnya, mungkin lebih cocok untuk dinikmati oleh anak-anak, sehingga kritik dari kalangan dewasa pun mungkin terasa kurang relevan secara keseluruhan.

Tujuan penulis di sini adalah untuk mengkaji bukan untuk menjadi meatriders (fanatik yang hanya mendukung tanpa kritik) KSI, tetapi untuk memahami bahwa setiap karya seni akan berhadapan dengan ragam macam komentar dan kritik. Apalagi kasus yang dialami KSI sendiri tergolong cukup edukatif jika kita dapat melihat serta menganalisis dari perspektif yang tepat secara “netral”.

Penulis: Tiny.lime

Penyunting: Dzahabiyyah Adyana Nugroho